Sabtu, 13 Februari 2016

Belajar dari mereka...

"Ayoo kak....buruan, nanti kita telat !" teriak si dedek, yang selalu ingin lebih awal sampai di sekolah. Tapi, yang diteriaki tetap seperti biasa, keep calm dan dengan santai menoleh ke arah jam dinding sambil nyelutuk "khan belum jam tujuh dek..." Si kakak tanpa rasa gusar meneruskan sarapannya, menyelupkan roti tawar ke gelas susu dan melahapnya dengan tenang. Sementara si dedek, dibalik rasa gusar dan kesal, mulutnya terus berkomat kamit mendesak si kakak agar bersegera. Tapi ada sesuatu yang unik di balik peristiwa yang rutin aku saksikan setiap pagi menjelang keberangkatan mereka menuju sekolah.

Sejak kepindahan tugas ke daerah sekitar kampung halamanku di akhir tahun 2014 silam, Bukittinggi tepatnya, aku mulai merasakan atau lebih pas menikmati peranku sebagai seorang ibu bagi kedua anak perempuan --si kakak dan si dedek-- ku, dan sebagai istri bagi suamiku disamping peranku sebagai guru disekolah tempat dinas. Sebelumnya, aku bertugas di kota Solok yang jaraknya tidak kurang dari 70km dari desa tempat tinggalku, dan harus kulalui pergi subuh pulang maghrib setiap empat kali seminggu. Kondisi inilah yang menyebabkan persentase waktuku untuk mereka terasa sangat sedikit.

Suasana pagi hingga melepas anak-anak berangkat ke sekolah tidak bisa aku rasakan setiap hari dan menyambut kepulangan mereka dari sekolahpun luput dari keseharianku, mamaku --nenek mereka-- yang mengambil alih. Hanya rentang setelah maghrib, makan malam, mengecek PR dan bacaan Quran mereka, sholat Isya, dan paling lama pukul sembilan kedua bocah ini sudah menuju tempat tidur. Mungkin itu waktu yang bisa aku nikmati bersama mereka, quality time kata orang sekarang. 

Pagi ini dan InsyaAllah untuk pagi-pagi berikutnya, segala tragedi pagi, kelucuan, kegeraman, hingga keunikan kedua putriku ini Alhamdulillah bisa aku nikmati. Dari peristiwa pagi, aku jadi tahu bahwa mereka berdua memiliki sisi yang berbeda. Azka, si dedek yang sangat terobsesi untuk selalu datang nomor satu ke sekolah, berpacu duluan datang dengan guru kelasnya. Bertolak dengan Zahra, si kakak yang super santai tapi tenang walaupun didesak oleh adiknya.

Memang, semasa aku masih dinas di Solok, aku sudah berpesan kepada mereka, untuk belajar mandiri, karena kasihan sama nenek kalau semua perlengkapan sekolah kakak dan dedek harus disiapkan nenek. Hingga kini, saat aku sudah pindah dinas ke Bukittinggi sekaligus pindah rumah alias tidak numpang  lagi di rumah gadang kami, aturan mandiri tetap aku terapkan kepada kedua anak perempuanku. Hasilnya, setiap pagi aku tidak mendengar teriakan anak-anak yang kehilangan perlengkapan mereka. "Bunda...jilbab kakak mana? Bunda....kaos kaki dedek mana?"Atau teriakan kehilangan yang lainnya memang tidak ada dalam suasana pagi kami, kecuali teriakan desakan si dedek kepada kakaknya agar lebih cepat berkemas.

Setiap azan Subuh bergema, akupun tak perlu repot membangunkan mereka, si kakak selalu terbangun lebih dulu, setelah sholat subuh barulah dia membangunkan si dedek. Merapikan buku dan tas mereka masing-masing, dan entah kapan mereka membuat kesepakatan giliran, aku perhatikan kalau dedek yang mandi duluan, maka kakak lah yang bertugas merapikan tempat tidur mereka sambil menunggu antrean kamar mandi. Begitu sebaliknya. Mengambil underwear dan seragam sekolah di lemari baju, kaos kaki di laci, memasukkan bekal makanan --yang telah kusiapkan di kotak mereka masing-masing-- ke dalam tas bekal mereka, juga menyiapkan perlengkapan shalat, semua mereka yang handle.

Yang menarik perhatianku, keunikan mereka, yang satu ingin cepat dan yang satu biasa saja. Tapi mereka selalu bersama. Si dedek, walaupun mendesak kakaknya untuk lebih cepat, tapi tidak pernah berniat untuk meninggalkan atau berangkat duluan ke sekolah. Dengan wajah cemberut dan sedikit omelan, si dedek turun tangan ikut membereskan perlengkapan si kakak. Dan saat jarum ja m tepat pada jam tujuh mereka sudah berangkat, itu berarti mereka berangkat pukul tujuh kurang sepuluh, jam itu sengaja aku percepat 10 menit dari waktu sebenarnya, dan mereka mengetahui hal ini. Ahh... Mereka memang unik, gumamku.

Keunikan lain pun aku temui di sore hari hingga malam menjelang mereka tidur. Saat pulang sekolah kisah mereka selama di sekolahpun seolah menjadi cerita menarik yang selalu aku nantikan layaknya seorang pencinta film yang tidak sabar menunggu film terbaru tayang di bioskop. Si dedek dengan celotehannya yang menceritakan apa yang dilalui bersama teman dan guru di kelas,  kalimat meluncur lancar dari mulut kecilnya. Dan kemurungan wajah si kakak tak lewat dari pantauanku, dan saat ditanya "Ada apa kak...kenapa murung? Ayo cerita sama Bunda, apa kejadiannya sampai kakak kelihatan sedih begini". "Penggaris besi kakak dipinjam teman, tapi ga dikembaliin" jawabnya dengan raut sedih. "Udah kakak minta balik?" tanyaku kembali. "Belum" jawabnya datar. Belum sempat aku menyambung, si dedek langsung mengomentari perbincangan kami, "harusnya kakak minta penggarisnya sebelum pulang, kalau dia ga mau balikin bilangan aja ke Ustadzah, kalau di ilangin, suruh dia ganti". Ahh....lagi lagi aku tersenyum geli melihat keunikan mereka. Yang satu begitu sensitif dan yang satu begitu tegas mengambil keputusan. Akhirnya aku redakan kemurungan si kakak dengan memeluknya dan menyarankan "besok coba kakak tanya dulu sama teman yang meminjam penggaris itu, mungkin dia lupa ngembaliin karena buru-buru mau pulang, oke". Wajah cerah dan senyum pun tersimpul di wajah anak sulungku itu.

Menyaksikan tingkah polah mereka berdua memang menakjubkan, selalu ada warna di setiap episodenya. Beda pagi, beda siang, beda pula di malam harinya. Terkadang sempat terlintas ingin total jadi housewife...tapi aku tepis karena menjadi guru sudah menjadi passionku pula. Setelah makan malam bersama, seperti biasa tugasku adalah mengecek PR yang telah mereka kerjakan sebelumnya. Ada keunikan lagi, si dedek selalu lebih dulu menyelesaikan PRnya, tapi wajar karena volume PRnya jauh lebih sedikit dibanding si kakak yang sudah kelas Lima dengan jumlah soal dan tingkat kesulitan yang lebih. Tapi uniknya, si dedek tidak pernah duluan masuk kamar untuk tidur, dia tetap setia menunggu si kakak menuntas PRnya walaupun itu sambil menonton TV atau main game atau terkadang ikut-ikutan menjawab soal-soal si kakak. Setiap anak akan membawa keunikannya masing-masing, dan orang tua sebagai penikmatnya.

Sebelum tidur aku menceritakan segala yang telah aku nikmati kepada hubby. Beliau tergelak mendengarkan rentetan ceritaku tentang anak kami. "Zahra itu Hubby dan Azka itu Bunda" celutuk hubby di akhir ceritaku. Tapi by, ujarku "Mereka kok bisa sejalan, saling mengisi, saling mengerti, saling memahami dan selalu bersama walaupun beda watak..... ngga kayak kita yang kadang-kadang berselisih gitu? Sambil tertawa hubby menjawab "Kita?? Bunda kalii yang ga mau pernah ngalah, tuu belajar donk sama anak-anak, kok mereka bisa yaa?" seloroh hubby sambil menarik selimut dan menutup hari ***

@Labor 04 Tryout UNBK online
SMKN 1 Bukittinggi


2 komentar:

  1. Hahaa...jadi pengen ketemuan, akan ada warna seperti apa ya klo duo zahra&azka dikumpulin sama Annisa&zhafira... :D

    BalasHapus
  2. InsyaAllah akan semakin berwarna warni keunikan bocah bocah ini, yang bisa bikin bunda bundanya berkata AMAZING kali yaa

    BalasHapus