Sabtu, 13 Februari 2016

Belajar dari mereka...

"Ayoo kak....buruan, nanti kita telat !" teriak si dedek, yang selalu ingin lebih awal sampai di sekolah. Tapi, yang diteriaki tetap seperti biasa, keep calm dan dengan santai menoleh ke arah jam dinding sambil nyelutuk "khan belum jam tujuh dek..." Si kakak tanpa rasa gusar meneruskan sarapannya, menyelupkan roti tawar ke gelas susu dan melahapnya dengan tenang. Sementara si dedek, dibalik rasa gusar dan kesal, mulutnya terus berkomat kamit mendesak si kakak agar bersegera. Tapi ada sesuatu yang unik di balik peristiwa yang rutin aku saksikan setiap pagi menjelang keberangkatan mereka menuju sekolah.

Sejak kepindahan tugas ke daerah sekitar kampung halamanku di akhir tahun 2014 silam, Bukittinggi tepatnya, aku mulai merasakan atau lebih pas menikmati peranku sebagai seorang ibu bagi kedua anak perempuan --si kakak dan si dedek-- ku, dan sebagai istri bagi suamiku disamping peranku sebagai guru disekolah tempat dinas. Sebelumnya, aku bertugas di kota Solok yang jaraknya tidak kurang dari 70km dari desa tempat tinggalku, dan harus kulalui pergi subuh pulang maghrib setiap empat kali seminggu. Kondisi inilah yang menyebabkan persentase waktuku untuk mereka terasa sangat sedikit.

Suasana pagi hingga melepas anak-anak berangkat ke sekolah tidak bisa aku rasakan setiap hari dan menyambut kepulangan mereka dari sekolahpun luput dari keseharianku, mamaku --nenek mereka-- yang mengambil alih. Hanya rentang setelah maghrib, makan malam, mengecek PR dan bacaan Quran mereka, sholat Isya, dan paling lama pukul sembilan kedua bocah ini sudah menuju tempat tidur. Mungkin itu waktu yang bisa aku nikmati bersama mereka, quality time kata orang sekarang. 

Pagi ini dan InsyaAllah untuk pagi-pagi berikutnya, segala tragedi pagi, kelucuan, kegeraman, hingga keunikan kedua putriku ini Alhamdulillah bisa aku nikmati. Dari peristiwa pagi, aku jadi tahu bahwa mereka berdua memiliki sisi yang berbeda. Azka, si dedek yang sangat terobsesi untuk selalu datang nomor satu ke sekolah, berpacu duluan datang dengan guru kelasnya. Bertolak dengan Zahra, si kakak yang super santai tapi tenang walaupun didesak oleh adiknya.

Memang, semasa aku masih dinas di Solok, aku sudah berpesan kepada mereka, untuk belajar mandiri, karena kasihan sama nenek kalau semua perlengkapan sekolah kakak dan dedek harus disiapkan nenek. Hingga kini, saat aku sudah pindah dinas ke Bukittinggi sekaligus pindah rumah alias tidak numpang  lagi di rumah gadang kami, aturan mandiri tetap aku terapkan kepada kedua anak perempuanku. Hasilnya, setiap pagi aku tidak mendengar teriakan anak-anak yang kehilangan perlengkapan mereka. "Bunda...jilbab kakak mana? Bunda....kaos kaki dedek mana?"Atau teriakan kehilangan yang lainnya memang tidak ada dalam suasana pagi kami, kecuali teriakan desakan si dedek kepada kakaknya agar lebih cepat berkemas.

Setiap azan Subuh bergema, akupun tak perlu repot membangunkan mereka, si kakak selalu terbangun lebih dulu, setelah sholat subuh barulah dia membangunkan si dedek. Merapikan buku dan tas mereka masing-masing, dan entah kapan mereka membuat kesepakatan giliran, aku perhatikan kalau dedek yang mandi duluan, maka kakak lah yang bertugas merapikan tempat tidur mereka sambil menunggu antrean kamar mandi. Begitu sebaliknya. Mengambil underwear dan seragam sekolah di lemari baju, kaos kaki di laci, memasukkan bekal makanan --yang telah kusiapkan di kotak mereka masing-masing-- ke dalam tas bekal mereka, juga menyiapkan perlengkapan shalat, semua mereka yang handle.

Yang menarik perhatianku, keunikan mereka, yang satu ingin cepat dan yang satu biasa saja. Tapi mereka selalu bersama. Si dedek, walaupun mendesak kakaknya untuk lebih cepat, tapi tidak pernah berniat untuk meninggalkan atau berangkat duluan ke sekolah. Dengan wajah cemberut dan sedikit omelan, si dedek turun tangan ikut membereskan perlengkapan si kakak. Dan saat jarum ja m tepat pada jam tujuh mereka sudah berangkat, itu berarti mereka berangkat pukul tujuh kurang sepuluh, jam itu sengaja aku percepat 10 menit dari waktu sebenarnya, dan mereka mengetahui hal ini. Ahh... Mereka memang unik, gumamku.

Keunikan lain pun aku temui di sore hari hingga malam menjelang mereka tidur. Saat pulang sekolah kisah mereka selama di sekolahpun seolah menjadi cerita menarik yang selalu aku nantikan layaknya seorang pencinta film yang tidak sabar menunggu film terbaru tayang di bioskop. Si dedek dengan celotehannya yang menceritakan apa yang dilalui bersama teman dan guru di kelas,  kalimat meluncur lancar dari mulut kecilnya. Dan kemurungan wajah si kakak tak lewat dari pantauanku, dan saat ditanya "Ada apa kak...kenapa murung? Ayo cerita sama Bunda, apa kejadiannya sampai kakak kelihatan sedih begini". "Penggaris besi kakak dipinjam teman, tapi ga dikembaliin" jawabnya dengan raut sedih. "Udah kakak minta balik?" tanyaku kembali. "Belum" jawabnya datar. Belum sempat aku menyambung, si dedek langsung mengomentari perbincangan kami, "harusnya kakak minta penggarisnya sebelum pulang, kalau dia ga mau balikin bilangan aja ke Ustadzah, kalau di ilangin, suruh dia ganti". Ahh....lagi lagi aku tersenyum geli melihat keunikan mereka. Yang satu begitu sensitif dan yang satu begitu tegas mengambil keputusan. Akhirnya aku redakan kemurungan si kakak dengan memeluknya dan menyarankan "besok coba kakak tanya dulu sama teman yang meminjam penggaris itu, mungkin dia lupa ngembaliin karena buru-buru mau pulang, oke". Wajah cerah dan senyum pun tersimpul di wajah anak sulungku itu.

Menyaksikan tingkah polah mereka berdua memang menakjubkan, selalu ada warna di setiap episodenya. Beda pagi, beda siang, beda pula di malam harinya. Terkadang sempat terlintas ingin total jadi housewife...tapi aku tepis karena menjadi guru sudah menjadi passionku pula. Setelah makan malam bersama, seperti biasa tugasku adalah mengecek PR yang telah mereka kerjakan sebelumnya. Ada keunikan lagi, si dedek selalu lebih dulu menyelesaikan PRnya, tapi wajar karena volume PRnya jauh lebih sedikit dibanding si kakak yang sudah kelas Lima dengan jumlah soal dan tingkat kesulitan yang lebih. Tapi uniknya, si dedek tidak pernah duluan masuk kamar untuk tidur, dia tetap setia menunggu si kakak menuntas PRnya walaupun itu sambil menonton TV atau main game atau terkadang ikut-ikutan menjawab soal-soal si kakak. Setiap anak akan membawa keunikannya masing-masing, dan orang tua sebagai penikmatnya.

Sebelum tidur aku menceritakan segala yang telah aku nikmati kepada hubby. Beliau tergelak mendengarkan rentetan ceritaku tentang anak kami. "Zahra itu Hubby dan Azka itu Bunda" celutuk hubby di akhir ceritaku. Tapi by, ujarku "Mereka kok bisa sejalan, saling mengisi, saling mengerti, saling memahami dan selalu bersama walaupun beda watak..... ngga kayak kita yang kadang-kadang berselisih gitu? Sambil tertawa hubby menjawab "Kita?? Bunda kalii yang ga mau pernah ngalah, tuu belajar donk sama anak-anak, kok mereka bisa yaa?" seloroh hubby sambil menarik selimut dan menutup hari ***

@Labor 04 Tryout UNBK online
SMKN 1 Bukittinggi


Jumat, 15 Januari 2016

Apa Kabar Blogku ?

Pesan dari  Whatsapp yang kuterima di awal tahun 2016 inilah yang membangkitkan semangatku untuk menulis kembali. Ajakan untuk bergabung dengan grup di media sosial yang memotivasi anggotanya untuk menulis setiap hari walaupun itu hanya 6-10 kalimat. Segera kubuka link yang disertakan dalam pesan tersebut, dan tanpa pikir panjang aku tap “JOIN” dengan harapan bisa segera bergabung dengan grup itu. One Day One Post nama grupnya, bagus nih buat membakar semangatku agar bisa rutin menulis, batinku.

Selang dua hari, ku intip kembali grup ODOP, ingin tau apakah permintaan joinku sudah di approve atau belum. ternyata aku masih waitinglist. Mungkin adminnya sibuk, atau banyak permintaan bergabung, sehingga harus ngantri dulu. Namun, semangatku tidak surut, toh tanpa harus gabung dengan grup tersebut, aku tetap bisa menulis di blog, gumamku menghibur diri.

Masuk ke blogku yang sudah berdebu, mungkin lebih tepat disebut karatan. Bukan dalam hitungan minggu atau bulan blog ini tidak aku sentuh, tapi sudah 3 tahun *stadium akut. Kulihat masih 2 postingan tulisan yang berbaris di dindingnya. Yap, tulisan itu aku posting di triwulan terakhir tahun 2012. Aku tersenyum sendiri setelah membaca kembali deretan kata yang telah kurangkai 3 tahun yang lalu. Ahh...ternyata aku bisa juga nulis ya. Tapi kenapa hanya sampai 2 postingan saja, tidak ada tambahan postingan berikutnya. Apa sebab? Sibuk! Itulah jawaban klise para ibu rumah tangga yang merangkap sebagai wanita karier hehe. Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, tahun ini waktunya meramaikan blog ini kembali *semangat euy.

Halaman kosong untuk postingan baru sudah menatapku sejak setengah jam yang lalu, tapi belum satu hurufpun meluncur di lembar putih itu. Aku bingung, mulainya dari mana? judulnya apa? atau topik apa yang akan ku tulis? Seperti sepasang remaja yang kehilangan konsep saat ingin mengutarakan isi hatinya, aku tak tau apa yang akan aku tuliskan di blogku ini? Pikiranku buntu. Ternyata menulis itu sulit. Semangatku yang meledak dan berapi-api layaknya petasan dan kembang api di malam pergantian tahun mulai redup. Keluar dari blog, matikan laptop, lupakan tentang grup ODOP, lupakan tentang blogku, lalu tidur.

*****

Tadi malam, aku rasa kondisi tubuhku tidak beres, meriang, terasa panas dingin, dan hidungku mengucurkan cairan yang tak henti-hentinya. Berniat go to bed early, semoga aku tidak sakit beneran ya Allah..Besok , hari rabu jadwalku  10 jam pelajaran, kasihan siswa-siswaku yang sudah datang ke sekolah ternyata gurunya tidak masuk *halah kaya guru fav aja, padahal siswa bahagia kali ya kalo aku ga masuk hihi. Namanya badan lagi ga enak, gimana mau tidur lebih cepat, miring kekanan salah, ke kiri resah, tengkurep apalagi. Kuputuskan online saja, buka gadget, dan ternyata notifikasi grup WA ku beruntun berdering. Ku baca percakapan mereka. Ternyata satu teman telah menyertakan link tulisannya, dan satu teman lagi tidak mau kalah juga menambahkan linknya. Jleb...mereka telah melahirkan karya, sementara aku masih mandul, owh....sakitnya tuh disini sodara-sodara, air hidungku semakin deras mengucur. Ternyata aku hanya punya kobaran semangat, tapi tidak bisa bergerak *tepok jidad sendiri.

Kelas pagi masuk jam 7, berhubung materi ajarku tentang “Kelas Maya”, ku tugaskan siswa untuk membuat akunnya masing-masing  agar bisa bergabung ke grup kelas maya yang telah aku rancang. Kemudian ada beberapa butir soal quiz online yang harus mereka jawab. Saat siswa mengerjakan apa yang aku perintahkan, terlintas kembali dibenakku peristiwa sedih tadi malam. Aku harus melahirkan karya, sambil menunggu siswa bekerja, lebih baik aku menulis. Tak usah pikirkan apa judulnya, apa topiknya, darimana mulainya, yang penting nulis aja. Yeaayyy...tak perlu menghabiskan waktu yang lama, barisan kata meluncur diujung-ujung jari ku yang menari lincah merangkai kalimat demi kalimat. Aku tidak mandul teman. karyaku telah lahir *lebay deh. Hingga di baris terakhir aku baru sadar ternyata tulisan ini memang belum diberi judul. Dari pada bingung yang bermuara kebuntuan, akhirnya kuberi saja judul tulisan ini “Apa Kabar Blogku ?”

PS: Dan ternyata di grup ODOP permintaan joinku pun sudah di approve :)

Lab 01 SimDig, SMKN 1 Bkt.
Kelas pagi, 13012016 ©

Senin, 03 Desember 2012

Hubby....Terimakasih

Pagi itu aku rasa tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya; bangun di pagi buta, sholat Subuh, menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk kedua putriku, coffee cream untuk suami, juga mempersiapkan diriku sendiri untuk berangkat ketempat tugas yang berjarak ±80 Km dari desa tempat tinggalku. Rutinitas ini harus aku kejarkan dalam durasi waktu 1,5 jam, karena jam 6 Teng aku harus Go!

Suamiku, kerap aku panggil ‘Uda’ atau panggilan ‘Hubby’ jika aku sedang berada bersama kedua anakku, bukan karena ikutan trend kebarat-baratan, tapi jika aku memanggil uda, anakku justru mengikut memanggil uda juga kepada abiy mereka. Jadi akupun mengganti panggilan uda menjadi hubby karena secara samar terkesan mirip dengan abiy, sehingga kloplah, anak-anak panggil abiy, aku panggil hubby. Nah loh, kok nyasar ke sini bahasannya..??
 
#Kembali ke pokok bahasan..
 
Suamiku, alias si Hubby biasanya sudah menunggu di teras samping sambil memanaskan mesin motor, siap untuk mengantarku ke halte tempat aku menunggu bis langganan. Biasanya, bis tersebut lewat jam 6.15, artinya kalau aku telat sedikit saja, bablassss sudah, alamat harus menunggu bis selanjutnya dan akibatnya terlambat sampai di sekolah tempat aku bertugas :(

Beberapa menit kemudian aku dan hubby tiba di halte, menunggu sesaat, bis yang akan membawaku pun muncul. Berpamitan dengan hubby, lantas ikut melaju bersama penumpang lainnya di dalam bis yang Full AC plus music, dan pastinya full pegawai yang wangi-wangi (maklumlah masih pagi....fresh..)
 
Setelah mendapat PW --Posisi Wuenak-- di dalam bis, aku mulai ambil ancang-ancang untuk take a nap, lumayan istirahat di bis melepas penat subuh tadi. Kurebahkan kepala ke sandaran kursi sambil bersedekap, baru saja aku pejamkan mata, tiba-tiba obrolan dua orang ibu  muda yang duduk persis di sampingku membuat aku urung untuk tidur. Mata tetap aku pejamkan, tapi telinga aku tajamkan (hehe...nguping sambil tidur :P), pembicaraan mereka cukup menarik perhatianku.
 
“Kamu sih enak ya, punya suami baik, jabatan dikantor bagus, anak-anak yang lucu, ekonomi rumahtangga memadai, bla...bla...bla..., beda dengan aku yang punya suami cuma pegawai biasa, tidak pengertian, hidup pas-pasan, dan perangai anak-anak yang menjengkelkan...bla..bla..bla...”, sementara lawan bicara ibu tersebut dengan setia mendengarkan setiap lapisan keluhan temannya, sambil sesekali menetralkan suasana dengan penguatan “ah..kamu jangan begitulah, setiap rumahtangga pasti ada suka dan dukanya, yang sabar aja dalam menjalaninya” ucap si ibu yang dianggap bahagia oleh temannya itu. 

Dalam benak akupun menyela “Begitu teganya ibu itu menceritakan segala lapisan keburukan rumahtangganya, sehingga tidak tersisa satu lapispun kebaikan yang terlontar? Lupakah ibu itu dengan ayat Allah yang menjelaskan bahwa istri adalah pakaian bagi suaminya dan suami adalah pakaian bagi istrinya. Pakaian bisa kita artikan sebagai penutup, sebagai pasangan suami istri harusnya saling menutupi aib, bukan membeberkan seperti yang kukupingi tadi. Atau...masalah rumahtangga ibu itu sangat pelik? Tapi khan bisa dibicarakan  lebih tertutup? Ahhh..banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku, akhirnya kutuntaskan dengan doa semoga masalah rumahtangga ibu ini segera pulih dan diberkahi Allah... 

*****
Bel tanda waktu pulang berbunyi, tugas mengajarku hari ini selesai. Kurapikan semua peralatan mengajar, kututup materi ajar hari ini dan berdoa semoga siswaku menjadi tunas bangsa yang bisa berubah kearah yang lebih baik dari hari ke harinya. Aku kembali bergabung bersama rekan-rekan kerjaku di kantor guru,ngobrol-ngobrol ringan sembari merehatkan tubuh. Limabelas menit cukup, karena lama bersantai itu berarti akan memperlambat ketibaanku di rumah nanti, perjalananku jauh. Kulirik jam yang menempel di dinding kantor, 10  menit lagi jam 3 sore, obrolan bersama teman-teman kucukupkan, segera aku berkemas untuk pulang. Dari sekolah aku memakai jasa ojek menuju halte yang berdekatan dengan lokasi ngetem bis ke kotaku.
 
Alhamdulillah, setiba di halte tersebut, bis yang aku maksud sudah ada. Akupun langsung menaiki bis berwarna biru itu, memilih bangku kosong, dan menunggu penumpang lain, karena bis akan berangkat kalau penumpangnya sudah penuh. Berselang 10 menit bispun penuh dan siap berangkat menuju kotaku, Bukittinggi. Kira-kira 1km perjalanan, dari dalam tas terasa telepon selulerku bergetar, ada telpon masuk, segera aku angkat dan dari daftar nama di phonebook yang muncul aku sudah tau kalau suara itu milik Avi.
 
Avi adalah temanku, bukan teman lama, juga belum bisa disebut teman akrab. Kami berkenalan karena sering satu bis saat berangkat kerja. Kami sama-sama pegawai yang bolak balik Bukittinggi-Solok, bedanya dia bekerja di BUMN Solok dan aku mengajar di SMK Solok. Berawal dari senyum sebagai sesama penumpang bis, menyapa, ngobrol ringan, sampai akhirnya kami terkesan akrab, dan terasa sudah 3 tahun usia pertemanan kami sejak perkenalan itu. Frekwensi kami bertemupun tidak rutin, bertemu hanya kalau kebetulan kami satu bis (walau sebenarnya di dunia ini tak ada yang kebetulan), tak ada date  untuk berangkat bareng. Sepanjang perjalanan Bukittinggi-Solok itulah silaturrahmi di antara kami semakin terjalin..
 
“Assalammu’alaikum Din”, suara Avi mengucapkan salam, dan aku balas salamnya. Sebagai pembuka pembicaraan kami saling bertanya keadaan, kesehatan dan kerjaan. Tapi kali ini, aku merasa suara Avi agak tersendat, sepertinya ada beban yang tengah ia tanggung. Marasakan perbedaan itu, mulutku tak bisa kuajak kompromi untuk menunggu avi dulu yang bercerita. Aku langsung memburunya dengan pertanyaan “Lho..kenapa suaramu beda, ada apa Vi? kamu sakit? atau ada masalah? boleh aku tau?” Tak ada suara balasan, kecuali isak tangis yang kudengar. Semakin kurapatkan telepon selular ke telingaku, kutunggu Avi mengeluarkan suaranya untuk menceritakan apa yang membuat ia menangis.
 
“Din, apakah aku telah salah dalam menjalani rumahtangga? apakah aku tergolong istri durhaka? apakah aku harus bersabar terus? bla...bla...bla... Aku harus bagaimana Din?” suara avi terdengar diiringi isak tangisnya, dan ia terus menyalahkan dirinya. Rumahtangga Avi sedang dilanda badai, kucoba menenangkan hatinya yang terguncang, ku yakinkan Avi bahwa tidak ada rumahtangga yang sempurna di dunia ini, Allahpun tak akan memberikan ujian diluar kemampuan hambaNYA. Sepanjang pembicaraan kami via ponsel, aku terus memberikan penguatan-penguatan semampuku, aku sendiri juga tidak tau bila aku mengalami hal yang serupa entah bagaimana pula rapuhnya aku.
 
Sebagai kalimat pamungkas akupun menyodorkan beberapa buku untuk Avi, untunglah aku memiliki beberapa buku tentang hal-hal yang berkaitan dengan desperasinya housewife dan cerita rumahtangga yang mungkin bisa menjadi pengurang beban bagi temanku ini. Karena, saat aku sedang ada konflik dengan hubby, aku sering melampiaskannya dengan membaca buku-buku tersebut, lumayan buat meredam hatiku yang berkecamuk dan efeknya akupun segera berbaikan dengan hubby --paling lama 3 harilah ngambegnya hehehe--
 
Bis yang kutumpangi terus meliuk di tikungan jalan sepanjang pinggir Danau Singkarak, setelah menutup pembicaraan dengan Avi, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil terus memandangi riak air danau yang berkilau keemasan karena terpaan sinar matahari sore. Aku merasakan hari ini jadi berbeda dengan hari sebelumnya. Pagi-pagi mengupingi keluhan seorang ibu muda yang selalu menyalahkan pasangannya dan sorenya mendengarkan curahan hati temanku yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Masing-masing ibu muda ini sama-sama tengah dilanda badai dalam rumahtangga mereka, namun sudut pandang mereka dalam menghadapi badai ini yang tampaknya berlawanan. Sayang aku bukanlah seorang ahli psikolog spesialis rumahtangga atau konsultan pasutri yang bisa memberikan jalan keluar terbaik untuk mereka. Kembali aku hanya bisa berdoa untuk ibu itu dan temanku ini, semoga masalah mereka segera mereda.
 
Usia perkawinanku juga belum lama baru memasuki tahun ke 9, menurutku rumahtangga kami berjalan wajar dan biasa-biasa saja, bukan tak ada konflik, pasti ada, tapi semua segera kami selesaikan sekecil apapun masalahnya. Tak ada yang terlalu istimewa, semua sederhana saja. Tapi...sore ini aku rasa ada yang luarbiasa bahkan mungkin aku anggap istimewa dalam rumahtanggaku. Peristiwa yang aku dengar dari tadi pagi hingga sore inilah yang membuatku merasakan keistimewaan itu. Mungkin selama ini aku tidak begitu mensyukuri apa yang telah aku miliki, namun sore ini seolah mencolekku untuk menyadari bahwa nikmat Allah untuk rumahtanggaku ternyata sangat luarbiasa. Astaghfirullah...ampuni kami ya RAbb, Alhamdulillah ‘ala kulli nikmah..
 
Dan entah mengapa, tetiba hatiku seolah melompat-lompat ingin segera memaksa pak sopir agar mempercepat laju bisnya, dalam benakku, aku ingin segera sampai dikota tujuanku dan bertemu dengan hubby, mencerita apa yang telah kulalui hari ini.
 
Finally, waktu yang tak sabar ingin kukoyak tadipun menjawab semuanya. Setiba diperhentian bis, aku melihat hubby sudah menungguku dengan motor. Aku turun dari bis dengan sedikit melompat dan langsung bertengger dibelakang hubby. Hubby heran mengapa aku senyum-senyum begitu, aku tak menjawab melainkan melingkarkan tangan di pinggangnya kemudian mendekatkan mulutku ke telinga hubby yang tertutup helm dan membisikkan kalimat “ Hubby... terimakasih untuk semuanya ya..” Kamipun melaju dalam senja bersama ribuan rasa bahagia dan syukurku ;)




Ya... Allah izinkan sakinah bersamanya
hadir hari ini, esok dan selamanya...
Semoga cinta ini
tak hanya memberi bahagia di dunia,
tetapi hingga ke surga-MU
Aamiinnn....

#Kubang Putih, Awal Desember 2012,
4 hari menjelang “my Wedding Annyversary 9th,
with love for you my Hubby and my li’l family :*:*:*
 

Minggu, 07 Oktober 2012

Go......Blog !!!

"Membiasakan sesuatu yang tidak biasa", menurutku --mungkin banyak yang sependapat denganku-- ini adalah pekerjaan yang sulit untuk dilaksanakan. Akan selalu ada saja alasan-alasan untuk melemahkan, sehingga suatu yang tidak biasa tersebut menjadi tak kunjung di mulai. Bagaimana akan terbiasa, kalau memulainya saja enggan? Kalimat inilah yang akhirnya aku ancamkan kepada diriku sendiri, hingga akhirnya hari ini aku memulai menulis (setelah sekitar 15tahun yang lalu aku sudah berkeinginan menulis, tetapi selalu saja enggan memulai).

Dulu, semasa aku masih duduk dibangku sekolah tingkat atas, ayah selalu menyarankan agar aku menulis, terserahlah, apakah itu menulis diary, cerita-cerita ringan, puisi, atau apalah yang penting menulis, begitu ujar beliau. Bahkan, begitu besarnya harapan beliau agar aku menulis, aku disarankan jika kuliah nanti memilih Sastra Indonesia sebagai jurusanku (nyatanya aku justru kuliah dijurusan Teknik).

Sebenarnya ayah bukanlah tipe orangtua yang suka memaksakan kehendak kepada anak, aku tau apa alasan yang menyebabkan beliau begitu antusias menyokongku agar menulis. Pertama; aku adalah anak sulung yang nampaknya mewarisi darah seni beliau. Itu beliau lihat dari gayaku berbicara yang mirip dengan gaya beliau, kemudian nilai pelajaran Mengarang yang kudapat di sekolah selalu berada pada level terbaik, dan satu lagi (maaf, ini agak melompat ke masa aku sudah bekerja hehe) saat aku merantau pernah berkirim surat kepada beliau di kampung --masa itu pemakaian telepon genggam masih pada kalangan menengah ke atas-- dan setelah membaca rangkaian isi suratku yang panjang kali lebar itu, ayah semakin yakin kalau aku memiliki bakat merangkai kata.
Alasan Kedua; karena ayahku adalah seorang penulis, nampaknya  beliau sangat ingin kelak aku menjadi penulis juga (sedikit promo: walau belum top untuk skala Nasional, tulisan ayahku pernah dua kali dimuat pada Harian Kompas, disamping ratusan tulisan beliau dimuat pada koran daerah).

Namun, harapan besar yang ditumpangkan ayah untukku, ternyata nol besar, hingga beliau wafat, tak satupun tulisan yang bisa kupersembahkan untuk beliau, kecuali skripsi teknikku semasa kuliah dan surat-suratku selama merantau di Pulau Jawa. Maafkan anakmu ini ayah...

Saat ini, menurutku harapan ayah salah tempat, karena bakat menulis tersebut nampaknya lebih menonjol dan berkembang pada satu-satunya adik laki-lakiku M. Fitrian Kadir (satu promo lagi, silakan kunjungi:  http://bindulka.blogspot.com/ dan http://jannahtees.wordpress.com/ ), bukanlah padaku (hehehe..masih juga ngeles).
Ternyata, saran-saran yang dulu ayah tujukan kepadaku tidaklah terhenti karena wafatnya beliau, adik laki-lakiku kini meneruskan saran tersebut untukku, juga ditambah dengan sokongan dari dua adik perempuanku; Zakia Mutmainnah kadir dan Iftitah Rahmi Kadir.

Finally, Aku harus mulai!!! gumam diriku, banyak fasilitas untuk menulis, kenapa enggan?? Ayo Dina.... go...Blog!!!



#otw Bukittinggi-Solok, 01 Oktober 2012