Senin, 03 Desember 2012

Hubby....Terimakasih

Pagi itu aku rasa tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya; bangun di pagi buta, sholat Subuh, menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk kedua putriku, coffee cream untuk suami, juga mempersiapkan diriku sendiri untuk berangkat ketempat tugas yang berjarak ±80 Km dari desa tempat tinggalku. Rutinitas ini harus aku kejarkan dalam durasi waktu 1,5 jam, karena jam 6 Teng aku harus Go!

Suamiku, kerap aku panggil ‘Uda’ atau panggilan ‘Hubby’ jika aku sedang berada bersama kedua anakku, bukan karena ikutan trend kebarat-baratan, tapi jika aku memanggil uda, anakku justru mengikut memanggil uda juga kepada abiy mereka. Jadi akupun mengganti panggilan uda menjadi hubby karena secara samar terkesan mirip dengan abiy, sehingga kloplah, anak-anak panggil abiy, aku panggil hubby. Nah loh, kok nyasar ke sini bahasannya..??
 
#Kembali ke pokok bahasan..
 
Suamiku, alias si Hubby biasanya sudah menunggu di teras samping sambil memanaskan mesin motor, siap untuk mengantarku ke halte tempat aku menunggu bis langganan. Biasanya, bis tersebut lewat jam 6.15, artinya kalau aku telat sedikit saja, bablassss sudah, alamat harus menunggu bis selanjutnya dan akibatnya terlambat sampai di sekolah tempat aku bertugas :(

Beberapa menit kemudian aku dan hubby tiba di halte, menunggu sesaat, bis yang akan membawaku pun muncul. Berpamitan dengan hubby, lantas ikut melaju bersama penumpang lainnya di dalam bis yang Full AC plus music, dan pastinya full pegawai yang wangi-wangi (maklumlah masih pagi....fresh..)
 
Setelah mendapat PW --Posisi Wuenak-- di dalam bis, aku mulai ambil ancang-ancang untuk take a nap, lumayan istirahat di bis melepas penat subuh tadi. Kurebahkan kepala ke sandaran kursi sambil bersedekap, baru saja aku pejamkan mata, tiba-tiba obrolan dua orang ibu  muda yang duduk persis di sampingku membuat aku urung untuk tidur. Mata tetap aku pejamkan, tapi telinga aku tajamkan (hehe...nguping sambil tidur :P), pembicaraan mereka cukup menarik perhatianku.
 
“Kamu sih enak ya, punya suami baik, jabatan dikantor bagus, anak-anak yang lucu, ekonomi rumahtangga memadai, bla...bla...bla..., beda dengan aku yang punya suami cuma pegawai biasa, tidak pengertian, hidup pas-pasan, dan perangai anak-anak yang menjengkelkan...bla..bla..bla...”, sementara lawan bicara ibu tersebut dengan setia mendengarkan setiap lapisan keluhan temannya, sambil sesekali menetralkan suasana dengan penguatan “ah..kamu jangan begitulah, setiap rumahtangga pasti ada suka dan dukanya, yang sabar aja dalam menjalaninya” ucap si ibu yang dianggap bahagia oleh temannya itu. 

Dalam benak akupun menyela “Begitu teganya ibu itu menceritakan segala lapisan keburukan rumahtangganya, sehingga tidak tersisa satu lapispun kebaikan yang terlontar? Lupakah ibu itu dengan ayat Allah yang menjelaskan bahwa istri adalah pakaian bagi suaminya dan suami adalah pakaian bagi istrinya. Pakaian bisa kita artikan sebagai penutup, sebagai pasangan suami istri harusnya saling menutupi aib, bukan membeberkan seperti yang kukupingi tadi. Atau...masalah rumahtangga ibu itu sangat pelik? Tapi khan bisa dibicarakan  lebih tertutup? Ahhh..banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku, akhirnya kutuntaskan dengan doa semoga masalah rumahtangga ibu ini segera pulih dan diberkahi Allah... 

*****
Bel tanda waktu pulang berbunyi, tugas mengajarku hari ini selesai. Kurapikan semua peralatan mengajar, kututup materi ajar hari ini dan berdoa semoga siswaku menjadi tunas bangsa yang bisa berubah kearah yang lebih baik dari hari ke harinya. Aku kembali bergabung bersama rekan-rekan kerjaku di kantor guru,ngobrol-ngobrol ringan sembari merehatkan tubuh. Limabelas menit cukup, karena lama bersantai itu berarti akan memperlambat ketibaanku di rumah nanti, perjalananku jauh. Kulirik jam yang menempel di dinding kantor, 10  menit lagi jam 3 sore, obrolan bersama teman-teman kucukupkan, segera aku berkemas untuk pulang. Dari sekolah aku memakai jasa ojek menuju halte yang berdekatan dengan lokasi ngetem bis ke kotaku.
 
Alhamdulillah, setiba di halte tersebut, bis yang aku maksud sudah ada. Akupun langsung menaiki bis berwarna biru itu, memilih bangku kosong, dan menunggu penumpang lain, karena bis akan berangkat kalau penumpangnya sudah penuh. Berselang 10 menit bispun penuh dan siap berangkat menuju kotaku, Bukittinggi. Kira-kira 1km perjalanan, dari dalam tas terasa telepon selulerku bergetar, ada telpon masuk, segera aku angkat dan dari daftar nama di phonebook yang muncul aku sudah tau kalau suara itu milik Avi.
 
Avi adalah temanku, bukan teman lama, juga belum bisa disebut teman akrab. Kami berkenalan karena sering satu bis saat berangkat kerja. Kami sama-sama pegawai yang bolak balik Bukittinggi-Solok, bedanya dia bekerja di BUMN Solok dan aku mengajar di SMK Solok. Berawal dari senyum sebagai sesama penumpang bis, menyapa, ngobrol ringan, sampai akhirnya kami terkesan akrab, dan terasa sudah 3 tahun usia pertemanan kami sejak perkenalan itu. Frekwensi kami bertemupun tidak rutin, bertemu hanya kalau kebetulan kami satu bis (walau sebenarnya di dunia ini tak ada yang kebetulan), tak ada date  untuk berangkat bareng. Sepanjang perjalanan Bukittinggi-Solok itulah silaturrahmi di antara kami semakin terjalin..
 
“Assalammu’alaikum Din”, suara Avi mengucapkan salam, dan aku balas salamnya. Sebagai pembuka pembicaraan kami saling bertanya keadaan, kesehatan dan kerjaan. Tapi kali ini, aku merasa suara Avi agak tersendat, sepertinya ada beban yang tengah ia tanggung. Marasakan perbedaan itu, mulutku tak bisa kuajak kompromi untuk menunggu avi dulu yang bercerita. Aku langsung memburunya dengan pertanyaan “Lho..kenapa suaramu beda, ada apa Vi? kamu sakit? atau ada masalah? boleh aku tau?” Tak ada suara balasan, kecuali isak tangis yang kudengar. Semakin kurapatkan telepon selular ke telingaku, kutunggu Avi mengeluarkan suaranya untuk menceritakan apa yang membuat ia menangis.
 
“Din, apakah aku telah salah dalam menjalani rumahtangga? apakah aku tergolong istri durhaka? apakah aku harus bersabar terus? bla...bla...bla... Aku harus bagaimana Din?” suara avi terdengar diiringi isak tangisnya, dan ia terus menyalahkan dirinya. Rumahtangga Avi sedang dilanda badai, kucoba menenangkan hatinya yang terguncang, ku yakinkan Avi bahwa tidak ada rumahtangga yang sempurna di dunia ini, Allahpun tak akan memberikan ujian diluar kemampuan hambaNYA. Sepanjang pembicaraan kami via ponsel, aku terus memberikan penguatan-penguatan semampuku, aku sendiri juga tidak tau bila aku mengalami hal yang serupa entah bagaimana pula rapuhnya aku.
 
Sebagai kalimat pamungkas akupun menyodorkan beberapa buku untuk Avi, untunglah aku memiliki beberapa buku tentang hal-hal yang berkaitan dengan desperasinya housewife dan cerita rumahtangga yang mungkin bisa menjadi pengurang beban bagi temanku ini. Karena, saat aku sedang ada konflik dengan hubby, aku sering melampiaskannya dengan membaca buku-buku tersebut, lumayan buat meredam hatiku yang berkecamuk dan efeknya akupun segera berbaikan dengan hubby --paling lama 3 harilah ngambegnya hehehe--
 
Bis yang kutumpangi terus meliuk di tikungan jalan sepanjang pinggir Danau Singkarak, setelah menutup pembicaraan dengan Avi, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil terus memandangi riak air danau yang berkilau keemasan karena terpaan sinar matahari sore. Aku merasakan hari ini jadi berbeda dengan hari sebelumnya. Pagi-pagi mengupingi keluhan seorang ibu muda yang selalu menyalahkan pasangannya dan sorenya mendengarkan curahan hati temanku yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Masing-masing ibu muda ini sama-sama tengah dilanda badai dalam rumahtangga mereka, namun sudut pandang mereka dalam menghadapi badai ini yang tampaknya berlawanan. Sayang aku bukanlah seorang ahli psikolog spesialis rumahtangga atau konsultan pasutri yang bisa memberikan jalan keluar terbaik untuk mereka. Kembali aku hanya bisa berdoa untuk ibu itu dan temanku ini, semoga masalah mereka segera mereda.
 
Usia perkawinanku juga belum lama baru memasuki tahun ke 9, menurutku rumahtangga kami berjalan wajar dan biasa-biasa saja, bukan tak ada konflik, pasti ada, tapi semua segera kami selesaikan sekecil apapun masalahnya. Tak ada yang terlalu istimewa, semua sederhana saja. Tapi...sore ini aku rasa ada yang luarbiasa bahkan mungkin aku anggap istimewa dalam rumahtanggaku. Peristiwa yang aku dengar dari tadi pagi hingga sore inilah yang membuatku merasakan keistimewaan itu. Mungkin selama ini aku tidak begitu mensyukuri apa yang telah aku miliki, namun sore ini seolah mencolekku untuk menyadari bahwa nikmat Allah untuk rumahtanggaku ternyata sangat luarbiasa. Astaghfirullah...ampuni kami ya RAbb, Alhamdulillah ‘ala kulli nikmah..
 
Dan entah mengapa, tetiba hatiku seolah melompat-lompat ingin segera memaksa pak sopir agar mempercepat laju bisnya, dalam benakku, aku ingin segera sampai dikota tujuanku dan bertemu dengan hubby, mencerita apa yang telah kulalui hari ini.
 
Finally, waktu yang tak sabar ingin kukoyak tadipun menjawab semuanya. Setiba diperhentian bis, aku melihat hubby sudah menungguku dengan motor. Aku turun dari bis dengan sedikit melompat dan langsung bertengger dibelakang hubby. Hubby heran mengapa aku senyum-senyum begitu, aku tak menjawab melainkan melingkarkan tangan di pinggangnya kemudian mendekatkan mulutku ke telinga hubby yang tertutup helm dan membisikkan kalimat “ Hubby... terimakasih untuk semuanya ya..” Kamipun melaju dalam senja bersama ribuan rasa bahagia dan syukurku ;)




Ya... Allah izinkan sakinah bersamanya
hadir hari ini, esok dan selamanya...
Semoga cinta ini
tak hanya memberi bahagia di dunia,
tetapi hingga ke surga-MU
Aamiinnn....

#Kubang Putih, Awal Desember 2012,
4 hari menjelang “my Wedding Annyversary 9th,
with love for you my Hubby and my li’l family :*:*:*
 

Minggu, 07 Oktober 2012

Go......Blog !!!

"Membiasakan sesuatu yang tidak biasa", menurutku --mungkin banyak yang sependapat denganku-- ini adalah pekerjaan yang sulit untuk dilaksanakan. Akan selalu ada saja alasan-alasan untuk melemahkan, sehingga suatu yang tidak biasa tersebut menjadi tak kunjung di mulai. Bagaimana akan terbiasa, kalau memulainya saja enggan? Kalimat inilah yang akhirnya aku ancamkan kepada diriku sendiri, hingga akhirnya hari ini aku memulai menulis (setelah sekitar 15tahun yang lalu aku sudah berkeinginan menulis, tetapi selalu saja enggan memulai).

Dulu, semasa aku masih duduk dibangku sekolah tingkat atas, ayah selalu menyarankan agar aku menulis, terserahlah, apakah itu menulis diary, cerita-cerita ringan, puisi, atau apalah yang penting menulis, begitu ujar beliau. Bahkan, begitu besarnya harapan beliau agar aku menulis, aku disarankan jika kuliah nanti memilih Sastra Indonesia sebagai jurusanku (nyatanya aku justru kuliah dijurusan Teknik).

Sebenarnya ayah bukanlah tipe orangtua yang suka memaksakan kehendak kepada anak, aku tau apa alasan yang menyebabkan beliau begitu antusias menyokongku agar menulis. Pertama; aku adalah anak sulung yang nampaknya mewarisi darah seni beliau. Itu beliau lihat dari gayaku berbicara yang mirip dengan gaya beliau, kemudian nilai pelajaran Mengarang yang kudapat di sekolah selalu berada pada level terbaik, dan satu lagi (maaf, ini agak melompat ke masa aku sudah bekerja hehe) saat aku merantau pernah berkirim surat kepada beliau di kampung --masa itu pemakaian telepon genggam masih pada kalangan menengah ke atas-- dan setelah membaca rangkaian isi suratku yang panjang kali lebar itu, ayah semakin yakin kalau aku memiliki bakat merangkai kata.
Alasan Kedua; karena ayahku adalah seorang penulis, nampaknya  beliau sangat ingin kelak aku menjadi penulis juga (sedikit promo: walau belum top untuk skala Nasional, tulisan ayahku pernah dua kali dimuat pada Harian Kompas, disamping ratusan tulisan beliau dimuat pada koran daerah).

Namun, harapan besar yang ditumpangkan ayah untukku, ternyata nol besar, hingga beliau wafat, tak satupun tulisan yang bisa kupersembahkan untuk beliau, kecuali skripsi teknikku semasa kuliah dan surat-suratku selama merantau di Pulau Jawa. Maafkan anakmu ini ayah...

Saat ini, menurutku harapan ayah salah tempat, karena bakat menulis tersebut nampaknya lebih menonjol dan berkembang pada satu-satunya adik laki-lakiku M. Fitrian Kadir (satu promo lagi, silakan kunjungi:  http://bindulka.blogspot.com/ dan http://jannahtees.wordpress.com/ ), bukanlah padaku (hehehe..masih juga ngeles).
Ternyata, saran-saran yang dulu ayah tujukan kepadaku tidaklah terhenti karena wafatnya beliau, adik laki-lakiku kini meneruskan saran tersebut untukku, juga ditambah dengan sokongan dari dua adik perempuanku; Zakia Mutmainnah kadir dan Iftitah Rahmi Kadir.

Finally, Aku harus mulai!!! gumam diriku, banyak fasilitas untuk menulis, kenapa enggan?? Ayo Dina.... go...Blog!!!



#otw Bukittinggi-Solok, 01 Oktober 2012